Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyetujui pencairan pinjaman senilai US$ 150 juta atau Rp 2,14 triliun (kurs Rp 14.300/US$) kepada pemerintah Indonesia. Pinjaman ini akan digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur hijau dan mendukung target Sustainable Development Goals (SDGs).
"Fasilitas ini akan meningkatkan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan mempercepat pemulihan Indonesia dari pandemi Covid-19 dengan menghimpun modal dan menciptakan lapangan kerja," kata Kepala Unit Pembiayaan Hijau dan Inovatif ADB untuk Asia Tenggara Anouj Mehta dalam keterangan resminya, Rabu (16/2).
Pinjaman ini diberikan melalui fasilitas The Sustainable Development Goals Indonesia One-Green Finance Facility (SIO-GFF). Melalui fasilitas ini, pinjaman yang diberikan oleh ADB akan digunakan untuk membiayai setidaknya 10 proyek, dengan minimal 70% dari pembiayaan tersebut mendukung infrastruktur hijau dan sisanya mendukung target Sustainable Development Goals (SDGs).
Mehta mengatakan fasilitas ini juga akan merancang proyek yang layak dijalankan guna menarik pendanaan untuk melengkapi belanja pemerintah, termasuk dari sumber-sumber swasta, lembaga, dan komersial.
"SIO-GFF ditujukan agar dapat menjadi katalis hingga delapan kali dari dana yang kami investasikan guna mendukung infrastruktur yang ramah iklim dan membantu kemajuan Indonesia menuju SDG," ujar dia.
Pinjaman kepada pemerintah Indonesia ini selanjutnya akan diteruskan lagi pada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI. Di samping pinjaman tadi, ADB telah menyetujui bantuan teknis guna membantu memperkuat kemampuan SMI untuk menjalankan fasilitas SIO-GFF, dan memperluas layanan SMI agar dapat mendukung peminjam lainnya dan mengkatalisis pendanaan swasta.
Bantuan teknis tersebut didanai senilai US$ 1,2 juta atau Rp 17,2 miliar dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia dan US$ 375.000 atau Rp 5,3 miliar dari Dana Khusus Kemitraan Pembangunan Sektor Keuangan Luxembourg.
Spesialis Senior Sektor Keuangan ADB Benita Ainabe menyebut dukungan kepada Indonesia ini akan mendukung upaya menurunkan gas rumah kaca. Ini penting mengingat Indonesia menyumbang emisi gas rumah kaca kelima terbesar di dunia dan berkontribusi lebih dari separuh gas rumah kaca di Asia Tenggara.
"Belajar dari pengalaman kami di Indonesia, kami berharap dapat mengembangkan pendekatan tersebut ke negara-negara lain di kawasan ini," kata Ainabe.
Fasilitas SIO-GFF ini berupaya membantu mengelola risiko kredit selama siklus hidup proyek, terutama pada tahap konstruksi dan tahun-tahun awal operasi komersial saat arus kas masih negatif. Fasilitas ini terutama akan menawarkan pinjaman, tetapi mungkin juga memberikan ekuitas, utang yang dapat dikonversi, dan jaminan, guna mengurangi risiko kredit proyek dan menarik pemberi pinjaman komersial.
Dalam laporan ADB sebelumnya, kebutuhan pembiayaan infrastruktur tahunan di Indonesia dari 2016 sampai 2020 diperkirakan rata-rata US$ 74 miliar. Nilai tersebut sudah memasukkan komponen perubahan iklim. Sementara, kesenjangan pembiayaan infrastruktur Indonesia setiap tahunnya mencapai US$ 51 miliar.
Sumber: katadata.co.id