Anggaran infrastruktur pada APBN-P 2015 cukup besar mencapai Rp 290 triliun. Berbagai proyek pembangunan menjadi target di depan mata, setidaknya sepanjang 2015-2019. Misalnya, pembangkit tenaga listrik 35.000 megawatt, Tol Trans-Sumatera ruas Lampung-Palembang sepanjang 434 kilometer, dermaga Merak dan Bakauheni, jalur kereta api, bendungan, dan saluran irigasi.
Jika rencana pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo benar-benar digenjot, baik di bidang kemaritiman, pertanian, infrastruktur, maupun energi, industri dasar dan penunjang tentu semakin menggeliat. Misalnya, industri baja, industri perkapalan, industri permesinan, konstruksi, dan industri pendukung lain.
Merujuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2019, kebutuhan investasi 2015-2019 mencapai Rp 26.557 triliun. Investasi pemerintah ditargetkan Rp 4.023 triliun dan investasi masyarakat atau sektor swasta ditargetkan Rp 22.534 triliun.
Salah satu sumber pembiayaan investasi masyarakat atau sektor swasta adalah perbankan. Sumber pembiayaan dari perbankan untuk investasi masyarakat tahun 2015 diproyeksikan Rp 752,4 triliun. Hingga 2019, sumber pembiayaan dari perbankan diperkirakan mencapai Rp 5.694 triliun.
Namun, sejauh mana sumber pembiayaan perbankan bisa benar-benar menyentuh proyek-proyek infrastruktur dan produktif? Presiden dan CEO Grup Malayan Banking Berhard atau Maybank Datuk Abdul Farid Alias, bank terbesar di Malaysia dan grup layanan keuangan terkemuka di Asia Tenggara, mengatakan, perbankan tidak mudah memberikan pembiayaan untuk sektor infrastruktur, seperti pembangkit listrik. Proyek infrastruktur umumnya dibuat dengan kontrak jangka panjang, yaitu lebih dari 25 tahun. Padahal, perbankan cenderung memberikan pembiayaan untuk jangka waktu yang lebih pendek.
Kesulitan pembiayaan juga dialami BUMN. Menteri BUMN Rini Soemarno mengungkapkan, meski mendapat suntikan penyertaan modal, belum sepenuhnya BUMN dapat melaksanakan proyek-proyek raksasa, seperti pembangkit listrik dan jalan tol. Oleh karena itu, pekan ini, Rini dan sejumlah pimpinan BUMN akan berangkat ke Tiongkok untuk menjajaki kerja sama atau kemitraan dengan BUMN Tiongkok, termasuk menjajaki pembiayaan dari lembaga keuangan di sana.
Khusus di Indonesia, pembiayaan perbankan untuk menggerakkan sektor swasta menjadi tantangan besar. Misalnya, bunga kredit yang masih relatif tinggi, yaitu 12 persen. Kondisi itu membuat pelaku usaha seperti berlomba-lomba mencari pembiayaan atau utang dari luar negeri yang menawarkan bunga lebih rendah.
Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan IV-2014 terdiri dari utang sektor publik 129,7 miliar dollar AS atau 44,3 persen dari total utang luar negeri Indonesia dan utang swasta 162,8 miliar dollar atau 55,7 persen dari total utang luar negeri Indonesia.
Bagaimana perbankan dan pelaku usaha dalam negeri dapat memanfaatkan berbagai proyek infrastruktur dan pembangunan yang besar dan ambisius dalam RPJMN 2015-2019? Perlu keterbukaan dan kejelasan dari kementerian-kementerian teknis dalam melakukan tender dan membuat spesifikasi proyek yang akan dikerjakan.
Dengan keterbukaan dan peran semua pihak, baik perbankan, pelaku usaha, dan pemerintah, diharapkan alokasi anggaran pembangunan lebih banyak terserap. Roda ekonomi mampu bergerak cepat, lapangan kerja terbuka, pertumbuhan ekonomi tercapai, dan kemiskinan dapat dikikis. (Ferry Santoso)