JAKARTA — Pemerintah menargetkan pembicaraan mengenai pinjaman luar negeri dengan lembaga penyalur untuk mendukung pembangunan infrastruktur prioritas selama lima tahun ke depan dapat dilaksanakan pada akhir bulan ini.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan telah melakukan pembicaraan dengan Bappenas terkait dengan rencana usulan pinjaman luar negeri dari kementeriannya.
Namun, hingga saat ini, Bappenas masih menunggu rincian dan alokasi anggaran pinjaman dari kementerian lain. Menurut Basuki, Bappenas telah meminta kepada setiap kementerian untuk segera mengajukan rincian anggaran pinjaman dan alokasinya dalam waktu seminggu ini.“Sekarang, lagi dilengkapi semua untuk diserahkan ke Bappenas. Setelah itu, Bappenas kelola lagi detailnya se belum disetujui Wapres.
Akhir bulan ini, sudah negosiasi dengan lending agency,” katanya, Selasa (3/3).
Basuki mengatakan Kementerian PU-Pera telah mengajukan usulan pinjaman luar negeri US$15 miliar hingga US$23 miliar untuk menjamin pelaksanaan proyek infrastruktur prioritas selama lima tahun ke depan. “Kami mengusulkan US$23 miliar untuk mendukung pengadaan infrastruktur. Nanti kan bisa ditinjau, mana saja yang bisa ditunda, tapi kami perhitungkan yang prioritas bisa US$15 miliar,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pembiayaan dari pinjaman luar negeri akan diarahkan ke sektor infrastruktur sesuai dengan program prioritas pemerintah. Pasalnya, biaya penarikan pinjaman dari luar negeri, baik bilateral maupun multilateral, lebih murah dibandingkan dengan penerbitan surat utang atau obligasi negara.
Untuk itu, pemerintah sedang berkoordinasi terkait proyek-proyek prioritas yang akan dimasukkan dalam buku utang atau Blue Book 2015—2019. “Intinya supaya program pemerintah prioritas itu terjamin dan bisa terlaksana seperti yang diinginkan, terutama proyek infrastruktur,” kata Sofyan di Kantor Wapres, Senin (2/3).
ALOKASI PINJAMAN
Menurut Menteri, prioritas pinjaman akan dialokasikan untuk mendukung pengadaan akses air minum dan sanitasi layak, yakni mencapai US$5 miliar. “Alokasinya besar karena untuk mendukung komitmen MDGs [Millennium Development Goals] guna mengurangi masyarakat yang tidak dapat akses air minum. Kita malah targetkan 100% untuk aman air minum,” katanya.
Sementara itu, untuk pembangunan jalan tol diusulkan US$3 miliar dan untuk konektivitas berupa pembangunan jalan dan jembatan US$2 miliar. Selanjutnya, untuk pembangunan waduk diusulkan US$1,5 miliar, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi diusulkan US$1,6 miliar, serta untuk pengendalian banjir US$1,6 miliar dan pembangunan perumahan US$1 miliar.
Menurut Basuki, pinjaman tersebut dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan dana pemerintah untuk mendukung kelangsungan program percepatan pembangunan infratruktur. “Kita belum tahu kondisi keuangan kita ke depan akan seperti apa. Jadi, kita pikir akan sangat membantu jika manfaatkan dana pinjaman,” katanya.
Menurutnya, pemerintah memilih memanfaatkan dana pinjaman luar negeri karena dinilai masih memberikan fasilitas kredit yang ringan. Selain itu, fasilitas tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan ketika Indonesia memasuki kategori negara dengan pendapatan menengah (middle income). “Daripada mengeluarkan SUN [surat utang negara] dengan bunga yang tinggi, lebih baik menggunakan fasilitas pinjaman ini yang lebih murah,” katanya.
Untuk tahun ini, Kementerian PUPR telah menyerap anggaran pinjaman luar negeri mencapai Rp9 triliun dalam APBN-P 2015 di luar usulan anggaran yang baru akan diajukan. Sebagian besar sumber pinjaman berasal dari JICA dan Worl Bank.
Pinjaman luar negeri tersebut akan digunakan untuk mengerjakan 17 proyek di Ditjen Sumber Daya Air, 13 proyek Ditjen Bina Marga, dan 24 proyek Ditjen Cipta Karya. (Ana Noviani)